Book 1 : DAFFA DAN DELIANA

P R O L O G

Berawal dari teman, saling peka satu sama lain lalu berpacaran sampai menikah, asik kali ya?

Tak jarang kasus cinta menuai banyak jenis dan klasifikasi. Mulai dari saling menyukai tapi gengsi ujung-ujungnya malah saling menyakiti. Berpisah. Mencapai cita-cita serta jodoh masing-masing.

Atau kejebak friendzone dengan alasan takut jika ribut hubungan teman akan renggang, terlalu nyaman berdua tapi ujung-ujungnya baik si cewek atau cowok mendadak punya pacar? Ah, atau ditinggal nikah? Rasanya, semua itu banyak terjadi dan terbangun dalam jutaan versi kisah yang menarik.

Apakah sejak SMP kalian sudah mengerti akan cinta? Walau orang tua bilang, itu cuma cinta monyet alias sama sekali tidak serius.

Bagi seorang Daffa Dirgantara Narendra, ia tak percaya pada cinta sejenis itu. Buktinya, komitmen untuk mendekati gadis yang selama setahun ia stalker tak pernah mengurangi keseriusannya dalam mencintai.

Walau pemuda itu masih memakai seragam putih biru.

Tidak, tidak seperti bayangan seorang Daffa modus dengan ala-ala serangan bola basket, membuatnya marah, lalu jedor saja memberi syarat pada gadis untuk menjadi pacarnya. Baginya, gadis dengan potongan rambut sebahu, mata bundar menggemaskan, hidung kecil dan bibir tipis terlalu berharga jika mengandalkan kata-kata serta janji manis agar dapat memikat gadis itu.

"Gar, tau gak nama dia siapa?"

Daffa, pemuda bermata minimalis dan bibir tipis bagian atas serta bagian bawah sedikit tebal. Alisnya tumbuh lebat memesona dengan rahang tirus dan tegas. Memiliki kharisma yang khas tapi tatapannya teduh nan lembut. Baju putih biru yang dikenakan rapih dengan baju dimasukan ke celana, memakai ikat pinggang warna hitam beserta logo sekolah di bagian tengah. Tak lupa dasi biru bertengger manis layaknya CEO, terlihat sekali tingkat disiplin Daffa dari sekian banyak murid laki-laki.

Kelihatannya, sih, sempurna. Tapi satu kekurangan yang fatal; Daffa terlalu pemalas.

"Gak tau. Lihat aja almamaternya, dia pasti siswi OSIS."

Garaa Wildansyah, teman sebaya satu kelas Daffa. Tubuhnya pendek seperti kurcaci dan berkacamata. Imut kata cewek-cewek karena Garaa memiliki tahi lalat di dekat mata dengan bibir agak pucat. Kebiasaan kurang minum air putih, sifatnya ramah pada siapapun kecuali pemuda yang di sebelahnya ini. 

Walau begitu, Daffa memang sahabat terbaik Garaa.

Mendapat jawaban yang kurang memuaskan, Daffa merapatkan bibir penuh rasa penasaran. 

Akhirnya, sambil mengunci gadis itu dalam bola matanya Daffa berdiri.

"Doain, mas Rara."

Garaa melotot. Mulutnya gembung oleh donat yang ia makan. Memang, ini sedang jam istirahat. "Heh! Gak usah macem-macem!"

Omelan dari pemuda pendek seperti Garaa, tentu tak akan mempan bagi Daffa, jauh lebih tinggi dan umurnya pun lebih tua.

Buktinya, Daffa si pemuda pecicilan malah melambai tangan penuh percaya diri.

"Tunggu aja, Dua ribu enam belas Daffa jadian!"

Garaa terperangah, menganga lebar polos tak habis pikir.

"Masih bocil woi gak boleh cinta-cintaan!!!"


***



Mata bulatnya terbuka dan tertutup seirama, pipinya menggembung lucu menahan kesal, tangan mungilnya yang membawa tumpukan kertas sesekali merosot jatuh yang membuatnya kesulitan berjalan. Tubuhnya pendek yang hanya mencapai pembatas jendela kelas, rambutnya cokelat kehitaman diikat kuda dengan poni seperti Yuki kato. Tak lepas dari seragam putih biru dengan sepatu sneakers hitam, kaus kaki putih. 

Berjalan menyusuri koridor demi koridor demi tugas yang menjadi tanggung jawabnya, organisasi OSIS yang ia junjung tinggi. Walau tanpa itu pun, gadis itu mendapat julukan khusus.

Si pintar olimpiade IPA-kimia.

Yang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa sedari awal keluar dari ruang OSIS sudah diikuti pemuda iseng yang entah titisan darimana.

Saat berbalik, pemuda itu bersembunyi di balik pilar. Yang membuatnya kesal bukan kepalang, menggembung pipi berkali-kali agar tidak meledak. Melanjutkan jalan, risih, kembali berbalik dan pemuda itu kembali menghilang.

Sembunyinya pun jauh dari kata elite.

"SEPATU BULUK KAMU KELIATAN TUH! UDAH KETAHUAN!"

Menghela napas, membalikan tubuh tak acuh. "Terserah."

Jika pemuda itu tak mengesalkan, tentu ia tak akan berkata kasar. Dan jika ini pertama kalinya, ia akan coba sabar hati. Kenyataannya hampir tiap hari di mana pun ia berada, pasti ada pemuda itu. Benar-benar kurang kerjaan.

Belum sampai ruang guru, gadis berponi manis membalikan tubuh sepenuhnya. Matanya membulat tak habis pikir pemuda itu masih bersembunyi, namun nampak baju putih, rambut hitam, sepatu butut bagian kiri terlihat jelas. 

Menepuk dahinya geram, ia menghentak kaki keras. "KELUAR GAK! Ngumpet kamu benar-benar menyedihkan, ya."

Tertangkap basah, pemuda yang sedari dari memejamkan mata cemas unjuk diri. Keluar dari persembunyian yang menyedihkan katanya. Menunduk salah tingkah, memilin jari tangan gugup.

"Maaf. Gak bermaksud buat kamu—" ucapnya terpotong berganti meninggikan pandangan, kaget atas pernyataan gadis itu.

"Mau apa ngikutin aku terus? Bilang, jangan nguntit. Risih tau gak?"

Seolah menang lotre, mata minimalis seketika berbinar cerah.

"Makan bareng boleh? Gimana?"

Tanpa pikir panjang, gadis itu mengangguk tak keberatan. Lalu pergi dengan tumpukan kertas melanjutkan langkah memasuki ruang guru. 

Meninggalkan raut wajah ceria dari pemuda itu, yang mengayunkan tinjuan di udara dengan senyum yang terbit di bibir tipisnya. Setitik harapan muncul, kapal akan berlabuh mulai dari hari ini.

Setelah sekian lama, akhirnya gadis itu terlihat sedikit peduli. Meski Daffa tau benar, menguntit seseorang jelas di larang keras.

***

Jam satu siang sekolah dibubarkan, ratusan siswa bersamaan keluar gerbang dengan cerah. Meski tak banyak diantaranya lesu, capek, dan jenuh. Ada yang sendiri, berdua maupun rombongan. Bercanda ria saling berbagi cerita selama di sekolah. 

Memandanginya, senyum pemuda itu mengembang penuh arti.

"Hei!"

Seorang siswi datang menggendong tasnya, melambai ringan melangkah mendekat. Daffa membalasnya tak kalah senang, itu karena dia menepati janji.

"Maaf telat." 

"Selaw. Tugas laki-laki itu menunggu dan mengejar. kali ini boleh nunggu, kalau ngejar kamu nanti gak keberatan?"

"Bisa aja bercandanya. Mau makan apa?"

Daffa terlihat berpikir. Tempat makan apa yang perempuan sukai? Restoran? Kaki lima? Atau warteg? Untuk mengerti rumus cewek, dia benar-benar kesulitan.

"Eh! Gimana kalau ke kafe cokelat? Di simpang depan sekolah itu tuh, baru lho di sana murah lagi. Mau kan?"

Yah, dia nanya tapi dijawab sendiri juga. Perempuan itu, sungguh susah ditebak juga ya? 

Daffa mengangguk singkat, "boleh. Tapi, hm, cokelat?"

"Iya. Cokelat. Gak suka ya?"

"Su-suka kok! Yuk!" Gugup ia menjawabnya, jika melihat gadis ini sudah mengerling mata antusias. Daffa tak sanggup menolak.

Sesampainya di simpang depan, benar saja, tertampang jelas toko baru bertuliskan 'kafe cokelat' ramai oleh para siswa berseragam putih biru mengantri di meja pemesanan.

Keduanya menatap sekitar toko. Minimalis, beberapa tanaman berbaris rapi, hangat dan sejuk. Ternyata tak hanya dari murid SMP, baik SMA atau kuliahan bahkan orang tua dan anaknya ikut serta sambil mengobrol ria. Melihatnya, Daffa tersenyum tipis.

"Gimana? Penuh gini. Mau sempit-sempitan juga?" Tanyanya memastikan.

"Gapapa. Lagi pengen banget nih dari beberapa hari kemarin tapi gak ada temen," ujarnya merapikan anak rambut ke samping telinga. Memandangnya, Daffa tertegun sejenak. "Oh, ya. Baru inget, nama kamu.., siapa?"

Gadis itu mengerutkan dahi. Yang ditanya lebih dulu angkat kaki, ngeluyur ke stand pemesanan dengan meraih tangannya dengan cepat karena kebetulan yang di belakang sedang menelpon. Tepat saja, saat pemuda iseng itu masuk antrean seenak jidat, bapak-bapak berusia setengah abad terlihat marah.

"Heh! Dilarang nikung tau!" 

Dengan manisnya, Daffa malah tertawa kecil. "Udah diem di depan. Mau dia marah juga paling gebuk punggung saya."

Eh, saya?

Lagi-lagi gadis itu terbengong tak percaya.

"Cepetan itu, mbaknya nunggu kamu pesen."

Tersentak, cepat-cepat ia tersadar menoleh dan memesan segelas es cokelat dan brownies kukus.

"Ma-mau apa?" 

"Samain aja," singkatnya tersenyum. Melihat gadis yang gagap salah tingkah begitu, lucu juga. "Biar serasi."

"O-oh." Gadis itu mengangguk, lalu mencatat pesanan dan segera mencari bangku kosong.

Selesainya mereka makan bersama, pemuda itu lebih dulu bangkit berdiri. Terlihat janggal karena wajahnya cukup pucat. 

"Kamu, gak papa?"

"Eh?" Ia tersadar. "Saya baik-baik aja. Oh ya, boleh tahu namamu siapa?"

Gadis itu, tercengang bukan main. "Jadi, kita makan di sini, kamu belum tahu namaku? Astaga."

Daffa tersenyum miring. Kita, ya? Manis.

"Belum," ucapnya polos. "Lagian, saya belum bisa BBM. Gak punya hape. Jadi, gimana kenalnya?"

"Bentar, deh," putus gadis itu seolah berpikir sesuatu sambil meneliti wajah Daffa. "Kamu.., yang ngasih topi sewaktu upacara pembukaan MOS, kan?"

Seulas senyum terbit penuh kemenangan, akhirnya, akhirnya! Cepat-cepat Daffa mengangguk kalem.

"Iya. Boleh minta nomornya? Mau saya SMS gitu."

"Gak hapal."

Meski kecewa, Daffa tetap bahagia. "Wajar kok. Kamu gak sering main hape, ya? Lagian ketemu langsung lebih bagus dari sms-an."

"Ya, gitu. Kan gak bisa juga bawa hape ke sekolah. inget, aku ini anak OSIS lho!" 

Daffa tertawa. Humoris, ia suka.

"Kenalin, saya Daffa Dirgantara Narendra. Bisa dipanggil Daffa," Ujarnya mendekatkan wajah. Tangannya terulur, mengenalkan diri.

Membalas uluran Daffa menggenggam erat tangan berkulit sawo matang, gadis itu tersenyum.

"Deliana Wulandari Putri."

Selepas pulang dari kafe, tak henti-hentinya Daffa memegang hidung dengan tisu yang diam-diam ia bungkus. Jengkel, ia berhenti di trotoar jalan. Tak lama mobil yang ia minta jemput akhirnya tiba dan melipir ke pinggir jalan. 

Cepat-cepat Daffa masuk dan menutup pintu mobil itu keras.

Memejamkan mata, menarik napas lalu membuangnya perlahan mencoba menguasai diri. Tentu menarik perhatian pria paruh baya di balik kemudi mobil.

Melihat wajah tirus majikannya yang mengeluarkan banyak keringat, memegang hidung terlihat noda darah segar membuat ia membelalak. 

Secepatnya mengambil tisu baru di dasbdash mobil, mendekatkan diri berniat mengelap darah itu.

"Biar Daffa saja, pak."

Pak Atmo mendesis, "udah. Sini sama bapak aja," Daffa terdiam, tangannya menurun membiarkan pria berpakaian serba hitam membersihkan mimisannya. 

"Jangan diulangi, ya, den..," pesan Pak Atmo pelan. Meski ia tahu, majikannya terus saja melanggar. "Aden, kan, tahu.., kamu itu alergi berat cokelat."

Terkadang, Daffa lebih menyayangi sopirnya atau pembantu di rumahnya dibanding ayahnya yang gila kerja. Tak pernah ada untuknya, yang membuat Daffa meragu apakah pria itu tahu bahwa ia memiliki alergi merepotkan seperti ini.

Daffa memang alergi berat cokelat.

Sementara seorang gadis bernama Deliana penggila makanan itu, suka sekali pada aneka macam cokelat. Namun, Daffa bertekad tak akan berhenti mendekati gadis itu. Gadis yang selama setahun ia suka dan membuatnya menjelma jadi pengagum rahasia.

Ia memilih kisahnya sendiri, bahwa Daffa, demi cintanya akan melakukan apapun agar Deliana senang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Book 1 : DAFFA DAN DELIANA