Book 1 : DAFFA DAN DELIANA
BAGIAN 1 : USULAN BENDAHARA
Hiruk pikuk kendaraan tak membuat seorang Daffa goyah untuk menunggu. Di depan gerbang, leher tegasnya celingak-celinguk seakan mencari sesuatu atau lebih tepatnya seseorang. Berulangkali ia membenahi ransel di pundak, sesekali mengusap rambut panjangnya ke belakang.
"Udah dibilangin, nunggu aja depan kelasnya. Ngeyel banget, sih, bucin."
Ya, lagi-lagi ia bersama Garaa. Si pemuda bertubuh pendek yang menggerutu pada kelakuan temannya.
"Bucin, tuh, apa?" Tanya Daffa mengerjap mata polos. "Yang suka ada di halte pake make up lima belas centi, tapi aslinya cowok?"
"ITU BANCI!" Kesal Garaa meledak.
Garaa mendengus, tak habis pikir. "Siapa tau dia udah dateng duluan, coba ke kelasnya aja." Ujarnya memberi usul.
"Gitu?"
Garaa menyabarkan diri.
"Mager ah," Cuek Daffa kembali menatapi jalanan depan sekolah, meneliti beberapa siswi datang. "Gar. baru nyadar, cewek-cewek sekolah kita cantik-cantik semua, ya?"
"Aduin Deliana, lho," Ancam Garaa yang berhasil buat Daffa mendelik, merapatkan bibir sadar diri. "Udah, dah. Nyerah aja. Deliana terlalu baik, Daff"
"Gue tau," ujar Daffa, yang jelas raut wajah cerahnya berubah samar. Menyendu dengan senyum penuh arti. "Lagian, Deket gak harus pacaran. Temen, kan, bisa? Siswa SMP, belum pantes sok bisa ngebahagiain cewek, duit aja masih minta orang tua. Tumben, Daffa bisa sepinter ini. Ya gak, Gar?"
Garaa tertawa. "Yoi,"
"HEI SEDANG APA KALIAN DI SINI?!"
Sebuah suara menggelengar. Mendengar nadanya saja, sudah membuat dua pemuda itu sontak berbalik. Satu tangan kanannya terangkat ke pelipis, membentuk hormat dengan tubuh menegak tegas.
"HORMAT KOMANDAN!"
Pak Abidin, pria berusia empat puluh tahunan memiliki rambut putih sebagian hitam termakan oleh waktu yang merupakan mantan tentara kini menjelma sebagai guru sejarah sekaligus pembina paskibra. Sikap tegas dan berani beliau sering membuat para siswa terpacu untuk bisa sepertinya, bisa menjadi TNI-AD atau lebih dari itu. Tak pantang menyerah meski sudah lanjut usia, menyebarkan kobaran semangat jiwa bangsa untuk negara.
Katanya, "Kalian sebagai pemuda harus menjadi penerus yang bermartabat, jujur dan ingat pada Tuhan kalian." Dalam satu pidato beliau membimbing paskibra, melanjutkan, "Tetaplah menjadi seseorang yang cerdas dalam berilmu dan beradab. Bahagiakanlah orang tua tidak hanya dalam jabatan, tapi kebaikan serta keadilan kalian ketika nanti menjadi seorang pemimpin!"
Tentu saja, api semangat pemuda-pemudi terpancing dan saling memberi semangat. Terutama ketika pelatihan pengibaran sang saka merah putih dalam peringatan tujuh belas agustus, kemerdekaan Indonesia.
Pak Abidin tersenyum gagah. "turunkan tangan kalian," Setelah kedua pemuda menurunkan hormat mereka sedikit kikuk, membuat pak Abidin menggeleng, "Mental kalian lemah sekali rupanya. CK. CK. CK."
Sementara dua pemuda yang ia tahu angkatan kelas delapan hanya diam saja seperti patung, pak Abidin menghela napas berat.
"Lima menit lagi bel akan berbunyi, silahkan kalian ke kelas masing-masing. SEKARANG!"
Terkesiap, Garaa dan Daffa kompak memberi hormat. "SIAP LAKSANAKAN!"
Tak mau menerima bentakan keras lagi, cepat-cepat mereka ambil langkah kaki seribu memasuki gerbang utama. Terbirit-birit membenahi ransel di pundak, saling dorong menyalahkan.
***
"AHAHAHAHAHAHAHAHA"
Gelak tawa seorang gadis menggelengar puas, menyusut air mata yang menetes tak tahan setelah mendengar penuturan dua pemuda itu. Tari, namanya. Dia bendahara kelas, yang awalnya ingin menagih hutang uang kas tapi ujung-ujungnya menyimak curhatan Daffa dan Garaa.
"Astaga," ujar Tari disela-sela sisa tawanya, tergelak sambil memegang buku kas kelas. "Ini pasti azab gak bayar kas sebulan, kepergok pak Abidin lagi nungguin cewek!"
Daffa mendecak gusar. "Beliau gak tau apa-apa soal itu!" Elaknya jujur. Lantas merapatkan bibir, otak pemalasnya kali setengah berpikir. "Ri?"
"Apa?"
"Cara deketin cewek gimana sih?"
Mendengar satu kalimat berisi lima kata meluncur bebas dari mulut Daffa, yang terdengar lucu, sontak memancing tawa Tari juga Garaa.
"Hei Daffa! dengerin, ya," Tari menunjuk pulpennya persis di depan wajah Daffa serius. "Daripada deketin perempuan, lebih baik lunasin utang dulu. Liat, nih! Sebulan lebih satu minggu kas kelas belum kamu bayar! Mikir!"
Garaa tertawa keras. Lebih tepatnya menertawai wajah cengo Daffa yang terlihat malu, sampai terjungkal ke bangku belakang.
"Ketawa aja terus ketawain sepuasnya!" Gerutu Daffa sembari meraih saku celana, mengambil uang dua ribuan. "Minggu ini aja dulu, Ri. Untung juga segitu nyisihin uang ketoprak."
Tari menggeleng kepala, menyabarkan diri dan menerima saja. "Uang denda juga sekalian. Makanya jangan bolos terus."
"Denda apalagi, sih, Ri?" Keluh Daffa memelas lucu. Mendapati sorot mata mencibir dari kawan sebelahnya.
"Gak usah sok melas juga! Tari gak bakal luluh," cerca Garaa menimpuk ekspresi wajah menjijikan Daffa dengan buku paket.
Tari menghela napas jengah, "Bolos jam pelajaran Seni budaya, Bolos ekskul Pramuka, bolos upacara terus hilangin buku paket matematika!"
"kenapa bisa semuanya dijadiin denda?"
"Biar jera dodol!" Geram Tari menaikan suara dengan kesal. "Tapi Bu Rahma bilang gak keberatan dicicil sampai naik kelas."
Kini giliran Garaa melongo, "lho, lho, gak bisa gitu!"
"Tanyain aja sendiri," Tari mengangkat bahu tak acuh. Mulai menulis beberapa angka ke buku kas kelas, mencatat pembayaran Daffa tadi. "Katanya, sih, karena Daffa ganteng kayak impian suaminya Bu Rahma."
"Gak adil dong. Bolos bayar sekali aja kamu marah-marah ke aku, Ri. Konspirasi nih!" Protes Garaa membelalak mata.
Tersentil emosi, Tari berkacak pinggang melotot mata tak takut. "Tau apa soal konspirasi?" Lalu melipat tangan di dada, mendengus remeh. "Belajar trigonometri aja gak bisa tuh."
"Ah emang kamu bisa? Pernah salah jawab persamaan kuadrat aja bangga!"
"Eh aku gak gitu ya, Gar! Ngada-ngada aja!"
Daffa menarik napas, mengeluarkannya perlahan lalu memejamkan mata. Menyabarkan diri oleh dua manusia yang silih bertengkar sudah seperti sepasang kekasih.
Tak lama matanya kembali terbuka ke langit kelas.
Memikirkan satu kata.
'kekasih, ya?'
Daffa hanyalah pemuda belia duduk di kelas delapan, masih memakai baju putih-biru memang masih jauh soal cinta. Seorang pemuda yang mempunyai cita-cita melawan sang ayah. Memikirkan kerasnya beliau, Daffa mengertakkan giginya kuat.
"Nilai seratus matematika itu gampang, nyontek aja ke Daffa. Selesai!"
"Curang namanya. Bukan hasil sendiri. huu Garaacu, Garaa curang!"
"Garanteng dong, Ri. Kan, Garaa ganteng," Garaa gantian menggoda Tari. Padahal belum sepuluh detik mereka adu mulut. Melihat Tari memerah pipinya, Garaa terbahak senang menyenggol siku Daffa. "pipinya kebakaran, Daf! Liat! Hahahaha gue bercanda doang suer jangan marah!"
Tari menggeram kesal. Menggetok kepala Garaa sampai terjungkal dengan buku kas yang tebalnya sudah seperti buku paket Indonesia. Super tebal.
"Rasain nih rasain!"
Daffa mengulurkan tangan, menjauhkan buku tebal itu dari kepala Garaa yang malang. "Udah, Ri. Gak baik sama temen sendiri."
Tari melengos pasrah. "Ya udah. Aku pergi duluan ke ruang guru, setor uang kas ke Bu Rahma. Kalau guru datang, izinin dispen ya Daf?" Memang, bangku Daffa dan Garaa itu paling pojok, jadi mereka berdua lah siswa terakhir yang ditagih utang uang kas.
"Bentar, Ri," tahan Daffa mengurungkan niat Tari untuk pergi. Menatap pemuda itu penuh tanya, sebelum kemudian tertegun atas raut wajah gugup Daffa. "Kamu belum jawab pertanyaan tadi."
"Yang mana?"
"Gimana caranya deketin cewek?"
Tari mengangkat alis. Sementara Garaa di sampingnya sendiri terdiam. Tak mau mengganggu karena ia sendiri tau, siapa perempuan yang Daffa ingin dekati. Baru sekarang Garaa melihat, Daffa si keledai pemalas berekspresi sungguh-sungguh.
"Daf, serius soal dia?" Tanya Garaa ragu.
Melihat Daffa mengangguk tanpa pikir panjang, Garaa semakin dibuat bungkam.
"Iya."
Tari memicing mata curiga. Ia takut jika Daffa menyukai cewek di kelas ini. Menghadapi sepasang yang saling suka dalam satu kelas itu merepotkan baginya daripada mendengarkan rentetan kata ceriwis Bu Rahma. Sungguh.
"Emang..., Siapa dia itu? Mau deketin siapa Daf?"
Daffa mendengus geli, lebih tepatnya berusaha menutupi salah tingkah. "Kepo ah. Cepetan jawab, Ri."
"Bukan kelas kita, kan?"
"Bukan."
Tari bernapas lega. Kemudian memangku jemari ke dagu, memikirkan cara yang tepat dan elegan mendekati perempuan.
Tapi Garaa lebih dulu bersuara.
"Santai. Ajak main ular cobra di hape aja, terus tanya-tanya dah soal dia."
Tari tertawa. "Oh, gak sekalian bola bounce aja? Kalau kena duri kalah."
"Udah gak usah mulai debat kalian," lerai Daffa sebelum perang dunia terulang lagi.
Menghela napas, Daffa menatap Tari dua kali lipat serius.
"Gimana, Ri?"
"Ada sih satu ide. Cara ini dipakai ibu sama bapakku dulu," ujar Tari berbinar cerah. "Pasti berkesan deh!"
Bukan hanya Daffa, bahkan Garaa pun berubah antusias.
Bibir Tari mengembang, menyebutkan satu usulan itu kemudian mengangkat alis pada Daffa yang ikut tersenyum miring bahagia.
Komentar
Posting Komentar